Sunday, July 18, 2021

Dari Bayangan Menjadi Terbayang

 

Tiba-tiba terdengar suara dering handphone di atas meja di kamar tidur. Suasana saat itu sedang hening tidak ada orang lain dan tidak ada suara apapun yang bunyi, sehingga begitu ada panggilan masuk, terdengar lumayan keras. Ingin rasanya langsung meraih handphone tersebut, tetapi badan terasa enggan untuk digerakkan.  Dibiarkannya bunyi handphone itu berdering, sampai akhirnya berhenti sendiri. Kembali ke dalam suasana sunyi. Dalam hening di malam itu, seperti biasa Liani merenung sambil rebahan di atas kasur dengan balutan seprei bermotif batik Solo. Seprei yang dibelinya pada saat berkunjung ke Solo beberapa bulan yang lalu. Hal yang biasa dilakukan sebelum tidur merenung dan mengingat apa-apa yang sudah dikerjakan selama seharian, mulai bangun tidur sampai akan tidur lagi.

“Aku akan cari tempat lain aja,” kataku pada Prita.

‘Aku merasa tidak cocok belajar ditempat itu,” ujar Liani.

Banyak siswanya yang masih sangat muda. Boleh dikatakan remaja dan menjelang dewasa. Sementara Liani sudah melampaui dewasa. Bahasa kerennya sudah mencapai usia yang “jelita”. Yaa sebagian orang yang usianya sebaya sering bercanda dengan kata “jelita” ini. Ntahlah dari mana istilah itu muncul. Siapa pencetus istilah tersebut juga tidak diketahui.  Dalam satu level berisi berbagai macam usia mulai dari anak sekolah tingkat SMP, SMA, mahasiswa, ibu-ibu muda, ibu-ibu “jelita” bahkan ada juga ibu-ibu yang sudah “lolita”. Semua variasi umur ini dijadikan dalam satu level. Bisa dibayangkan kecepatan dalam menangkap materi juga sangat bervariasi. Bagi yang usia remaja atau mahasiswa, sekali saja diberikan contoh dan penjelasan langsung mengerti dan bisa mempraktekan. Tetapi tidak  bagi si “jelita” ataupun si “lolita”. Siapa sih mereka? Kepo kan? Yuk kujelaskan. Jadi yang suka diberi julukan “jelita” itu adalah mereka-mereka yang diberikan umur oleh Allah sampai menjelang lima puluh tahun. Sementara si “lolita” itu adalah mereka-mereka yang lolos lima puluh tahun. Lagi-lagi tidak tahu kenapa kok patokannya lima puluh tahun. Ya sudahlah tidak perlu dibahas, apalagi dipikirkan. Enjoy aja.

“Aku merasakan selama beberapa kali ujian selalu gagal dan gagal lagi.” kembali Liani mengenang curhatannya kepada Prita.

“Kira-kira apa yang membuatmu gagal?” tanya Prita.

“Itulah dia yang saya ngga tahu.” jawab Liani.

“Rasa-rasanya sih sudah betul bacaannya, tetapi selalu saja ada yang di cut pada saat sedang membaca,” ujar Liani.

“Hal ini yang kemudian membuatku blank, apalagi kalau disuruh mengulang bacaannya lagi dan lagi,” tambah Liani.

“Tidak mungkin penguji menyuruh ulang bacaannya kalau sudah benar.” kata Prita.

“Iya betul sih,” jawab Liani.

“Tetapi hal itulah yang bisa menjadikan peserta hilang konsentrasinya juga.” ujar Liani.

 Ada perasaan kecewa yang berkecamuk didalam hati setiap kali selesai melaksanakan ujian tahsin. Entahlah apa yang menjadi penyebabnya. Liani tidak begitu paham. Barangkali metode ujian yang membuat peserta dag dig dug sebelum dipanggil. Setiap peserta akan berhadapan dengan penguji face to face. Hanya berdua di sebuah ruangan tanpa AC yang tidak bisa mendinginkan perasaan. Hanya ada sebuah kipas angin yang menempel di dinding. Tidak bisa juga mengurangi rasa cemas, khawatir, takut dan rasa-rasa lainnya.  Hanya berdua saja duduk berhadapan dengan penguji, yang nampak seolah-olah seperti makhluk yang menyeramkan. Di atas meja kecil terdapat lembaran soal ujiannya.yang siap untuk dibaca. Dengan posisi kertas terbalik, sehingga yang terlihat hanyalah kertas kosong berwarna putih.

“Assalamualaikum,” ustadzah Ani mengucapkan salam.

“Wa’alaikum salam,” jawab Liani.

“Apa kabar ibu, gemana sudah siap ujian hari ini?” tanya ustadzah Ani yang saat itu sebagai penguji.

“Alhamdulillah sehat, in sya Allah siap ustadzah.” jawab Liani.

“Silahkan duduk,” kata uztadzah Ani.

“Baik ustadzah,” jawab Liani.

Ustadzah Ani masih sangat muda. Bacaan alqurannya sangat bagus. Mahrojul hurufnya jelas, tajwidnya benar, panjang pendeknya betul, dengungnya oke. Sempurna, itulah kata yang tepat untuk beliau. Bila mendengar bacaan alqurannya, bisa langsung terpukau. Dan tidak akan bosan-bosannya mendengarkan lantunannya. Bacaannya tartil, jelas, sesuai hukum tajwid, dan lembut suaranya.

Lalu terbayanglah Liani berkeinginan seperti beliau. Bisakah? Pasti bisa. Itulah kata-kata penyemangat yang selalu diucapkan ustdzah Ani kepada peserta tahzin, yang merasa pesimis. Orangnya sangat sabar dalam mengajar. Satu persatu peserta dibimbing dengan penuh keikhlasan. Beliau harus menghadapi berbagai macam peserta. Bahkan ada yang sampai berulang-ulang diajari, walaupun yang hanya satu atau dua kata saja, masih belum betul juga bacaannya, tetapi beliau tetap sabar dan bahkan sangat sabar dengan terus membimbingnya. Padahal yang dihadapi ada beberapa yang sudah “jelita” dan “lolita”. Satu kelas terdapat sepuluh orang peserta, terdiri dari empat orang kategori “jelita”, tiga orang kategori “lolita” dan sisanya adalah siswa SMA.  Beliau selalu memanggilku dengan sebutan Bu Liani. Yaa karena memang usianya terpaut lumayan jauh. Cocoknya sih sebagai anak bungsuku. Berbeda jika memanggil Zahra, ustadzah Ani hanya menyebut namanya saja, karena Zahra masih duduk di kelas X SMAI Nurul Iman. Saat ini ustadzah Ani bukan sebagai pengajarku. Beliau mengajarku di level dasar dan tiga kali dilevel dua. Yaa walaupun sudah kenal dan cukup dekat dengan pengujinya, ternyata tidak bisa juga menghilangkan perasaan was-was dan khawatir. Saat ini adalah ujian yang ke empat kalinya di level dua ini. Artinya sudah tiga kali ujian dan ini yang keempat. Berharap lulus dan bisa naik ke level berikutnya.

Tujuan pembelajaran di level dua ini adalah peserta harus betul mahrojul hurufnya, tanda bacanya, panjang pendeknya, dan tajwidnya. Tidak boleh ada yang salah. Bila masih ada yang salah, maka akan disuruh mengulang dan mengulangi lagi sampai betul semua. Liani menjadi peserta tahsin yang sudah mengulang hingga empat kali dan belum lulus juga untuk naik ke level berikutnya. Yaa walaupun pada saat belajar sudah benar bacaanya, tetapi saat ujian, banyak salah maka dinyatakan tidak lulus. Status dalam rapornya bertuliskan  “memantapkan” alias mengulang. Yang membuat mata Liani berkaca-kaca setiap kali membuka hasil ujiannya. Perasaan sedih karena hasil yang diperoleh tidak menghargai proses pembelajarannya. Keputusannya adalah hasil akhir disaat ujian saja. Seolah-olah tidak ada pertimbangan sama sekali dari  usaha yang dilakukan selama belajar.   

Alangkah senangnya membayangkan bisa membaca alquran dengan tartil yang benar. Membayangkan hari-harinya diisi dengan membaca alquran tanpa ragu. Membayangkan ada suara bacaan alquran dari mulutnya sendiri bukan suara dari flashdisk murotal. Membayangkan bacaan alquran dengan nafas yang kuat. Semua bayangan itu seakan sirna dengan berulangnya beberapa kali di level dua ini. Yang membuat tidak seantusias saat pertamakali naik dari level satu ke level dua. Semangat belajarnya menjadi turun dan semakin turun. Walaupun disetiap kali pertemuan selalu diberikan support baik oleh keluarga maupun oleh teman-teman satu kelas. Dengan mengingatkan bahwa membaca Alquran dalam ajaran Islam, dipercaya memberi pahala yang banyak untuk setiap hurufnya. Memahami maknanya akan menambah pahala lagi dan sebagai acuan menjalani hidup. Selain itu, membaca alquran bagi pemula yang masih terbata-bata, akan menerima pahala yang berlipat ganda karena telah tulus mempelajari dengan perjuangan.

Sampai pada akhirnya Liani ikhlas saja mengulang dan mengulang lagi. Sambil introspeksi diri dan bertanya-tanya kenapa begitu sulitnya belajar membaca alquran di usia yang sudah senja. Namun rasa syukur selalu terucap karena Allah telah memberikan hidayah. Hidayah yang luar biasa bagi seorang Liani yang sejak kecil tidak diajarkan membaca alquran. “Ngaji kuping” (mengaji hanya mendengarkan dan kemudian menirukan apa yang diucapkan oleh guru ngajinya) itulah yang dilakukannya saat masih anak-anak.  Saat hidayah Allah datang di usia yang sudah tidak muda lagi, berbarengan dengan kesibukan duniawi. Kesibukan yang tidak ada habis-habisnya. Bahkan bisa sampai melalaikan dan menghabiskan waktu luangnya. Ada saja alasan untuk tidak mengerjakan tugas yang diberikan ustadzah. Padahal tugas yang diberikan tidak sampai berjam-jam bila dikerjakan.  Yaa…. hanya disuruh mengulang bacaan alqurannya setiap hari dan menyalin di buku tulis beberapa halaman dari buku materi pembelajaran. Kesibukan akan pekerjaan kantor juga menjadi tananan tersendiri. Rutinitas ke tempat kerja ikut andil sebagai salah satu alasan.  Berangkat pagi-pagi, dimana matahari belum terbit dan pulang ke rumah menjelang maghrib.  Dan yang paling menyedihkan begitu semangat untuk belajar muncul maka godaan dan bisikan setan semakin kencang.

“Hai ngapain kamu belajar baca alquran?” begitu kira-kira si setan menggoda.

“Cukuplah kamu jadi manusia yang baik, jalankan sholat lima waktu, bersedekah, bantu orang yang kekurangan dan tidak mengganggu orang lain,” terus saja setan itu merayunya.

Kriiiiiing…… kriiiiiiing……kriiiiiiing………bunyi handphone kembali terdengar  sehingga  membuyarkan lamunan Liani.

 “Aku pikir pasti ada hal yang penting nih, karena handphone berdering kembali,” gumam Liani.

“Masih samakah orang yang tadi menelponku?” tanyaku dalam hati.

Diraihlah handphone di atas meja dekat tepat tidur. Dilihatlah layar handphone merk oppo tersebut. Tidak muncul nama hanya ada nomer kontak saja. Selama ini apabila ada telephone masuk dan tidak muncul nama, maka Liani tidak pernah mengangkat. Tetapi entah kenapa saat itu ada keinginan yang sangat kuat untuk menjawabnya.

Hallo,” jawab Liani.

Hallo, betul ini Bu Liani?” terdengar suara di ujung telephone bertanya.

“Iya betul, dengan siapa saya bicara?” tanya Liani.

“Saya Salsabila, admin Lembaga Bimbingan Baca Tulis Alquran Nurul Hidayah,” jawab Salsabila.

“Saya informasikan bahwa kelas tahzin khusus untuk ibu-ibu akan dibuka mulai minggu depan.” tambahnya.

“Baik, terimakasih informasinya.” jawab Liani dengan perasaan bahagia.

“Alhamdulillah ya Allah.” gumamnya.

Terbayang siapa-siapa yang akan menjadi teman belajar, teman diskusi dan teman yang saling mengingatkan dalam kebaikan. Dengan kelas yang homogen dan usia yang hampir sama, dan kemampuan yang kira-kira sama levelnya. Dan yang paling membahagiakan adalah bisa belajar baca alquran di Lembaga Bimbingan Baca Tulis Alquran Nurul Hidayah, khusus untuk ibu-ibu “jelita” dan “lolita”. Semoga Allah senantiasa memberi kemudahan dalam mempelajari alquran.

Saturday, July 17, 2021

Tulisan Pertamaku

Keingian membuat tulisan di blog merupakan impian yang sudah lama sekali. Alhamdulillah baru kali ini meniatkan tekad dan mulai mencoba menulis, semoga bisa terus menulis dan menulis. Kesulitan dalam merangkai kata adalah kendala yang mungkin akan sering saya temui. Menuangkan ide yang ada didalam pikiran menjadi sebuah tulisan ternyata tidak mudah, seperti saat ini, yang saya tuliskan di dalam blog ini. Saya bingung mau menulis apa, namun tugas yang harus saya selesaikan adalah memposting tulisan di blog saya ini. Semangat belajar walaupun sudah tidak muda lagi. Bagaimana membuat blog, menuliskan artikel, membuat berbagai macam tulisan di blog, mengedit tulisan sampai mempublish tulisan. Belajar dengan ahlinya tidak akan pernah rugi, terima kasih pak Brian Prasetyawan, atas ilmunya yang dibagikan kepada saya, semangat ya bu Lena, ayo lanjutkan yaa isi blognya.

Resume Pertemuan ke-30 Pelatihan Belajar Menulis PGRI  Judul                 : Digitalisasi Gerakan Literasi Sekolah Gelombang       : 2...