Tiba-tiba terdengar suara
dering handphone di atas meja di kamar tidur. Suasana saat itu sedang
hening tidak ada orang lain dan tidak ada suara apapun yang bunyi, sehingga
begitu ada panggilan masuk, terdengar lumayan keras. Ingin rasanya langsung
meraih handphone tersebut, tetapi badan terasa enggan untuk digerakkan. Dibiarkannya bunyi handphone itu
berdering, sampai akhirnya berhenti sendiri. Kembali ke dalam suasana sunyi. Dalam
hening di malam itu, seperti biasa Liani merenung sambil rebahan di atas kasur
dengan balutan seprei bermotif batik Solo. Seprei yang dibelinya pada saat
berkunjung ke Solo beberapa bulan yang lalu. Hal yang biasa dilakukan sebelum
tidur merenung dan mengingat apa-apa yang sudah dikerjakan selama seharian,
mulai bangun tidur sampai akan tidur lagi.
“Aku akan cari tempat
lain aja,” kataku pada Prita.
‘Aku merasa tidak cocok
belajar ditempat itu,” ujar Liani.
Banyak siswanya yang
masih sangat muda. Boleh dikatakan remaja dan menjelang dewasa. Sementara Liani
sudah melampaui dewasa. Bahasa kerennya sudah mencapai usia yang “jelita”. Yaa
sebagian orang yang usianya sebaya sering bercanda dengan kata “jelita” ini. Ntahlah
dari mana istilah itu muncul. Siapa pencetus istilah tersebut juga tidak
diketahui. Dalam satu level berisi
berbagai macam usia mulai dari anak sekolah tingkat SMP, SMA, mahasiswa,
ibu-ibu muda, ibu-ibu “jelita” bahkan ada juga ibu-ibu yang sudah “lolita”.
Semua variasi umur ini dijadikan dalam satu level. Bisa dibayangkan kecepatan
dalam menangkap materi juga sangat bervariasi. Bagi yang usia remaja atau
mahasiswa, sekali saja diberikan contoh dan penjelasan langsung mengerti dan
bisa mempraktekan. Tetapi tidak bagi si
“jelita” ataupun si “lolita”. Siapa sih mereka? Kepo kan? Yuk kujelaskan. Jadi
yang suka diberi julukan “jelita” itu adalah mereka-mereka yang diberikan umur
oleh Allah sampai menjelang lima puluh tahun. Sementara si “lolita” itu adalah mereka-mereka
yang lolos lima puluh tahun. Lagi-lagi tidak tahu kenapa kok patokannya lima
puluh tahun. Ya sudahlah tidak perlu dibahas, apalagi dipikirkan. Enjoy aja.
“Aku merasakan selama
beberapa kali ujian selalu gagal dan gagal lagi.” kembali Liani mengenang
curhatannya kepada Prita.
“Kira-kira apa yang
membuatmu gagal?” tanya Prita.
“Itulah dia yang saya
ngga tahu.” jawab Liani.
“Rasa-rasanya sih sudah betul
bacaannya, tetapi selalu saja ada yang di cut pada saat sedang membaca,”
ujar Liani.
“Hal ini yang kemudian
membuatku blank, apalagi kalau disuruh mengulang bacaannya lagi dan
lagi,” tambah Liani.
“Tidak mungkin penguji
menyuruh ulang bacaannya kalau sudah benar.” kata Prita.
“Iya betul sih,” jawab
Liani.
“Tetapi hal itulah yang
bisa menjadikan peserta hilang konsentrasinya juga.” ujar Liani.
Ada perasaan kecewa yang berkecamuk didalam
hati setiap kali selesai melaksanakan ujian tahsin. Entahlah apa yang menjadi
penyebabnya. Liani tidak begitu paham. Barangkali metode ujian yang membuat
peserta dag dig dug sebelum dipanggil. Setiap peserta akan berhadapan dengan
penguji face to face. Hanya berdua di sebuah ruangan tanpa AC yang tidak
bisa mendinginkan perasaan. Hanya ada sebuah kipas angin yang menempel di
dinding. Tidak bisa juga mengurangi rasa cemas, khawatir, takut dan rasa-rasa
lainnya. Hanya berdua saja duduk
berhadapan dengan penguji, yang nampak seolah-olah seperti makhluk yang
menyeramkan. Di atas meja kecil terdapat lembaran soal ujiannya.yang siap untuk
dibaca. Dengan posisi kertas terbalik, sehingga yang terlihat hanyalah kertas
kosong berwarna putih.
“Assalamualaikum,” ustadzah
Ani mengucapkan salam.
“Wa’alaikum salam,” jawab
Liani.
“Apa kabar ibu, gemana
sudah siap ujian hari ini?” tanya ustadzah Ani yang saat itu sebagai penguji.
“Alhamdulillah sehat, in
sya Allah siap ustadzah.” jawab Liani.
“Silahkan duduk,” kata
uztadzah Ani.
“Baik ustadzah,” jawab
Liani.
Ustadzah Ani masih sangat
muda. Bacaan alqurannya sangat bagus. Mahrojul hurufnya jelas, tajwidnya benar,
panjang pendeknya betul, dengungnya oke. Sempurna, itulah kata yang tepat untuk
beliau. Bila mendengar bacaan alqurannya, bisa langsung terpukau. Dan tidak
akan bosan-bosannya mendengarkan lantunannya. Bacaannya tartil, jelas, sesuai
hukum tajwid, dan lembut suaranya.
Lalu terbayanglah Liani
berkeinginan seperti beliau. Bisakah? Pasti bisa. Itulah kata-kata penyemangat
yang selalu diucapkan ustdzah Ani kepada peserta tahzin, yang merasa pesimis. Orangnya
sangat sabar dalam mengajar. Satu persatu peserta dibimbing dengan penuh
keikhlasan. Beliau harus menghadapi berbagai macam peserta. Bahkan ada yang
sampai berulang-ulang diajari, walaupun yang hanya satu atau dua kata saja,
masih belum betul juga bacaannya, tetapi beliau tetap sabar dan bahkan sangat
sabar dengan terus membimbingnya. Padahal yang dihadapi ada beberapa yang sudah
“jelita” dan “lolita”. Satu kelas terdapat sepuluh orang peserta, terdiri dari empat
orang kategori “jelita”, tiga orang kategori “lolita” dan sisanya adalah siswa
SMA. Beliau selalu memanggilku dengan
sebutan Bu Liani. Yaa karena memang usianya terpaut lumayan jauh. Cocoknya sih sebagai
anak bungsuku. Berbeda jika memanggil Zahra, ustadzah Ani hanya menyebut
namanya saja, karena Zahra masih duduk di kelas X SMAI Nurul Iman. Saat ini
ustadzah Ani bukan sebagai pengajarku. Beliau mengajarku di level dasar dan
tiga kali dilevel dua. Yaa walaupun sudah kenal dan cukup dekat dengan
pengujinya, ternyata tidak bisa juga menghilangkan perasaan was-was dan
khawatir. Saat ini adalah ujian yang ke empat kalinya di level dua ini. Artinya
sudah tiga kali ujian dan ini yang keempat. Berharap lulus dan bisa naik ke
level berikutnya.
Tujuan pembelajaran di
level dua ini adalah peserta harus betul mahrojul hurufnya, tanda bacanya,
panjang pendeknya, dan tajwidnya. Tidak boleh ada yang salah. Bila masih ada
yang salah, maka akan disuruh mengulang dan mengulangi lagi sampai betul semua.
Liani menjadi peserta tahsin yang sudah mengulang hingga empat kali dan belum
lulus juga untuk naik ke level berikutnya. Yaa walaupun pada saat belajar sudah
benar bacaanya, tetapi saat ujian, banyak salah maka dinyatakan tidak lulus.
Status dalam rapornya bertuliskan “memantapkan”
alias mengulang. Yang membuat mata Liani berkaca-kaca setiap kali membuka hasil
ujiannya. Perasaan sedih karena hasil yang diperoleh tidak menghargai proses
pembelajarannya. Keputusannya adalah hasil akhir disaat ujian saja. Seolah-olah
tidak ada pertimbangan sama sekali dari
usaha yang dilakukan selama belajar.
Alangkah senangnya membayangkan
bisa membaca alquran dengan tartil yang benar. Membayangkan hari-harinya diisi
dengan membaca alquran tanpa ragu. Membayangkan ada suara bacaan alquran dari
mulutnya sendiri bukan suara dari flashdisk murotal. Membayangkan bacaan
alquran dengan nafas yang kuat. Semua bayangan itu seakan sirna dengan
berulangnya beberapa kali di level dua ini. Yang membuat tidak seantusias saat
pertamakali naik dari level satu ke level dua. Semangat belajarnya menjadi
turun dan semakin turun. Walaupun disetiap kali pertemuan selalu diberikan
support baik oleh keluarga maupun oleh teman-teman satu kelas. Dengan
mengingatkan bahwa membaca Alquran dalam ajaran Islam, dipercaya memberi pahala
yang banyak untuk setiap hurufnya. Memahami maknanya akan menambah pahala lagi
dan sebagai acuan menjalani hidup. Selain itu, membaca alquran bagi pemula yang
masih terbata-bata, akan menerima pahala yang berlipat ganda karena telah tulus
mempelajari dengan perjuangan.
Sampai pada akhirnya
Liani ikhlas saja mengulang dan mengulang lagi. Sambil introspeksi diri dan
bertanya-tanya kenapa begitu sulitnya belajar membaca alquran di usia yang
sudah senja. Namun rasa syukur selalu terucap karena Allah telah memberikan
hidayah. Hidayah yang luar biasa bagi seorang Liani yang sejak kecil tidak
diajarkan membaca alquran. “Ngaji kuping” (mengaji hanya mendengarkan dan
kemudian menirukan apa yang diucapkan oleh guru ngajinya) itulah yang
dilakukannya saat masih anak-anak. Saat
hidayah Allah datang di usia yang sudah tidak muda lagi, berbarengan dengan
kesibukan duniawi. Kesibukan yang tidak ada habis-habisnya. Bahkan bisa sampai
melalaikan dan menghabiskan waktu luangnya. Ada saja alasan untuk tidak
mengerjakan tugas yang diberikan ustadzah. Padahal tugas yang diberikan tidak
sampai berjam-jam bila dikerjakan. Yaa….
hanya disuruh mengulang bacaan alqurannya setiap hari dan menyalin di buku
tulis beberapa halaman dari buku materi pembelajaran. Kesibukan akan pekerjaan
kantor juga menjadi tananan tersendiri. Rutinitas ke tempat kerja ikut andil
sebagai salah satu alasan. Berangkat
pagi-pagi, dimana matahari belum terbit dan pulang ke rumah menjelang
maghrib. Dan yang paling menyedihkan begitu
semangat untuk belajar muncul maka godaan dan bisikan setan semakin kencang.
“Hai ngapain kamu belajar
baca alquran?” begitu kira-kira si setan menggoda.
“Cukuplah kamu jadi
manusia yang baik, jalankan sholat lima waktu, bersedekah, bantu orang yang
kekurangan dan tidak mengganggu orang lain,” terus saja setan itu merayunya.
Kriiiiiing……
kriiiiiiing……kriiiiiiing………bunyi handphone kembali terdengar sehingga membuyarkan lamunan Liani.
“Aku pikir pasti ada hal yang penting nih,
karena handphone berdering kembali,” gumam Liani.
“Masih samakah orang yang
tadi menelponku?” tanyaku dalam hati.
Diraihlah handphone
di atas meja dekat tepat tidur. Dilihatlah layar handphone merk oppo tersebut.
Tidak muncul nama hanya ada nomer kontak saja. Selama ini apabila ada telephone
masuk dan tidak muncul nama, maka Liani tidak pernah mengangkat. Tetapi entah
kenapa saat itu ada keinginan yang sangat kuat untuk menjawabnya.
“Hallo,” jawab
Liani.
“Hallo, betul ini Bu
Liani?” terdengar suara di ujung telephone bertanya.
“Iya betul, dengan siapa
saya bicara?” tanya Liani.
“Saya Salsabila, admin Lembaga Bimbingan Baca Tulis Alquran Nurul Hidayah,”
jawab Salsabila.
“Saya informasikan bahwa
kelas tahzin khusus untuk ibu-ibu akan dibuka mulai minggu depan.” tambahnya.
“Baik, terimakasih
informasinya.” jawab Liani dengan perasaan bahagia.
“Alhamdulillah ya Allah.”
gumamnya.
Terbayang siapa-siapa
yang akan menjadi teman belajar, teman diskusi dan teman yang saling
mengingatkan dalam kebaikan. Dengan kelas yang homogen dan usia yang
hampir sama, dan kemampuan yang kira-kira sama levelnya. Dan yang paling
membahagiakan adalah bisa belajar baca alquran di Lembaga Bimbingan Baca Tulis
Alquran Nurul Hidayah, khusus untuk ibu-ibu “jelita” dan “lolita”. Semoga Allah
senantiasa memberi kemudahan dalam mempelajari alquran.